Maret 2014.
Sungguh benar, dengan sebenar benarnya benar. Hati tak
ubahnya sesuatu yang lembut sekali. Dan jangan sekali-kali menampik inginnya
bila tak ingin bergulat dengan ketidaknyamanan. Turuti saja apa yang dia
inginkan. Hanya butuh merenung dan mengikuti kemana dia membawa jiwamu pergi. Bahkan
tak usah kawatir, dia akan membawamu ke tempat yang bersih, jika kamu mau
sekadar mengikuti kehendaknya. Namun, tak banyak yang mau melakukan itu
mungkin.
Aku tak punya kuasa untuk menentang hatiku,
malam itu.
Disudut kota metropolitan nan megah ini, ku
temukan kepincangan didalamnya. Dua orang anak manusia yang dengan
kepolosannya menunjukkan
kesederhanaan hidupnya. Satu anak sekitar tujuh tahun duduk dengan kedua kaki
menjulur kedepan beralaskan dinginnya aspal malam hari, dengan penuh keluguan
dia bermain es batu yang diperolehnya dari sebotol gelas plastik minuman yang
telah dianggap tak punya nilai lagi bagi pemiliknya. Ya, sampah minuman. Digosok
gosokkan es batu itu di pahanya. Kuamati geriknya. Aku tak benar paham apa
maksud dari tingkahnya itu. Hingga muncul spekulasi bahwa dia ingin merasakan
kesegaran air di tubuhnya. Mungkin seharian tubuhnya tak bergelut dengan air. Mungkin
saja. Lalu dengan cara itu dia merasakan sedikit kesegaran hidup hari itu.
Seorang yang lain, yang usianya kira kira
lebih tua, juga duduk di jalanan, dengan kali bersila dan tangannya memegangi
baskom besar yang entah apa gerangan maknanya bagi sang bocah. Yang satu ini,
yang ia lakukan hanya diam, kelihatannya dia sedang bergulat dengan batinnya. Bisa
dilihat bahwa sang bocah yang satu ini telah lebih paham apa arti hidupnya. Mungkin
jika aku boleh menerka, bocah itu sedang memikirkan apa yang harus dia lakukan
besok untuk sekadar mengisi lambungnya dengan makanan. Atau dia sedang
membayangkan kehidupan yang ideal untuk anak seusianya, yang seharusnya malam
itu dia belajar untuk sekolahnya besok, mengerjakan pr di meja belajar ditemani
ibu dan ayah atau bahkan adiknya di rumah yang penuh kehangatan. Dan mungkin
itu adalah kebahagiaan yang dia miliki malam itu, hanya sekadar dengan berimajinasi.
Namun kenyataannya, dunia sang bocah tadi tak seperti itu. Sama sekali tidak.
Dengan orang tua yang entah kemana, atau
bahkan mereka tak tahu kalau kalau tak punya orang tua, dua bocah tadi benar-benar
telah berhasil menyita pikiran ku malam itu. Aku seakan berkali kali ingin tak
melihat mereka. Karena jika memandang mereka aku tahu akan menambah perih
batinku. Namun ada dorongan untuk terus mengamati mereka.
Tempat ini banyak dilalui manusia manusia
yang mapan dari segi ekonomi. Mereka yang bisa berkunjung ke tempat ini
pastilah punya hasrat untuk mengonsumsi barang barang duniawi sebagai pelengkap kebutuhan
mereka. Dan mereka patut bersyukur atas nikmat itu, termasuk aku. Orang orang
berjalan menuju parkiran kendaraan karena malam sudah menunjukkan kuasanya
untuk mendaulat langit, yang membuat semakin pekat gelapnya. Semua orang yang akan mengambil kendaraan mereka harus melewati jalanan sempit
seperti trotoar yang menghubungkan bangunan mall dengan parkiran. Dan di
sepanjang jalan itu dua bocah tadi berada. Sungguh. Miris. Kedua anak itu
justru datang ke tempat ini ketika semua orang pulang ke rumah mereka masing
masing. Karena mungkin alasannya, mereka memang menunggu tempat itu sepi untuk
dijadikannya tempat istirahat malam itu.
Ketika aku mengamati kedua bocah tadi,
pikiranku diam-diam berfikir apakah orang orang yang berlalu lalang sepertiku
juga punya pikiran yang sama sepertiku menanggapi pemandangan kecut yang
disajikan malam tentang kedua bocah tadi.
Kala itu aku sungguh ingin berkomunikasi
dengan mereka, atau sekadar menyapa mereka. Ingin kutanyakan siapa namanya,
kenapa mereka berada disini, dimana orang tuanya, keluarganya, apakah mereka
sudah makan, ataukah mereka pernah sekolah, atau apa kegunaan baskom yang
mereka bawa. Namun, aku tak melakukannya. Kenyataannya aku hanya lewat saja
didepan mereka. Diam.
Aku, waktu itu aku merasa diriku tak
ubahnya seorang pengecut. Aku tak berbuat apa apa melihat semua itu. Karena jujur
aku sendiri tak tahu apa yang harus aku lakukan.
Aku benar benar tak kuasa menahan rasa
sakit yang muncul dalam hatiku. Perih rasanya. Melihat anak yang masih dini,
yang bahkan tak mengerti apa sebenarnya arti kehidupan ini, sudah harus merasakan apa yang kuanggap
sebagai ketidakadilan dunia yang bahkan bersifat fana ini. Menyadari kesenjangan yang begitu parah. Kadang, aku
berfikir, apakah memang harus ada orang yang bernasib demikan sehingga
kehidupan ini benar-benar seimbang? Seperti halnya di dunia ini selalu ada kebalikan dari suatu hal, misalnya ada tinggi, pasti ada rendah. Besar, pasti ada kecil. Begitu pula kaya dan miskin. Apakah jika semua nasib manusia di muka
bumi ini sama, sama-sama kaya tau sama-sama miskin, lalu kehidupan manusia diatasnya menjadi tak
seimbang. Akankah begitu adanya? Aku benar benar tak habis fikir.